Terkuaknya skandal penyadapan komunikasi oleh badan intelijen Amerika Serikat terus meluas. Bukan hanya negara-negara sekutu di Eropa yang menjadi sasaran, melainkan juga beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia.
Bahkan Berdasarkan laporan harian Washington Post, Rabu (30/10), Dinas Keamanan Nasional Amerika Serikat telah menyadap sejumlah tautan komunikasi utama dari pusat data Yahoo dan Google di seluruh dunia.
Dalam laporan itu, program penyadapan tersebut dioperasikan Dinas Keamanan Nasional Amerika Serikat bersama Dinas Keamanan Inggris (GHCQ) dengan nama MUSCULAR. Program tersebut memungkinkan kedua dinas keamanan tersebut mengambil lalu lintas data dari kabel serat optik yang digunakan oleh Yahoo dan Google.
Laporan terbaru Australia Ikut Menyadap Indonesia yang diturunkan laman harian Sydney Morning Herald (www.smh.com.au) pada Rabu malam WIB, menyebutkan, kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta turut menjadi lokasi penyadapan sinyal elektronik.
Surat kabar tersebut mengutip dokumen rahasia Badan Keamanan Nasional AS (NSA) yang dimuat di majalah Jerman, Der Spiegel. Dokumen itu dilaporkan jelas-jelas menyebut Direktorat Sinyal Pertahanan Australia (DSD) mengoperasikan fasilitas program STATEROOM.
Itu adalah nama sandi program penyadapan sinyal radio, telekomunikasi, dan lalu lintas internet yang digelar AS dan para mitranya yang tergabung dalam jaringan ”Lima Mata”, yakni Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru.
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia menolak berkomentar atas informasi tersebut. Namun, seorang mantan pejabat intelijen pertahanan Australia mengatakan kepada Fairfax Media bahwa fasilitas penyadapan di Kedubes Australia di Jakarta berperan penting dalam pengumpulan intelijen terkait dengan terorisme ataupun penyelundupan manusia.
Selain gedung kedubes di Jakarta, kantor Konsulat Australia di Denpasar, Bali, juga menjadi tempat pengumpulan sinyal intelijen.
Kemarahan atas tindakan spionase Amerika ini terjadi setelah sebelumnya muncul kecaman dari China, Rusia dan India bahwa Amerika terlalu banyak menguasai infrastruktur di dunia maya. Sekutu-sekutu Amerika lainnya telah menunjukkan kemarahan terhadap beberapa laporan tentang luasnya pemantauan yang dilakukan Amerika terhadap para pemimpin asing.
Menteri Luar Negeri John Kerry mengakui bahwa Negeri Paman Sam memang terkadang berlebihan dalam melakukan spionase.
Kerry merupakan politikus pertama AS yang mengakui adanya faktor lebay dalam aktivitas intelijen pemerintahannya. Salah satunya adalah menyadap telepon genggam Kanselir Jerman Angela Merkel dan konon 34 pemimpin dunia yang lain. Tapi, dia meyakinkan bahwa NSA melakukan penyadapan tersebut demi kepentingan negara-negara sekutu juga.
Kepada media, Kerry menegaskan, AS menyadap komunikasi via telepon dan e-mail sejak 2001. Tapi, dia tidak menyebutkan tokoh atau negara yang menjadi sasaran penyadapan NSA. Hanya, seiring berjalannya waktu, praktik itu kadang terlalu ekstrem. "Beberapa kali memang agak berlebihan," ujarnya tanpa menjelaskan lebih terperinci.
Kerry menyebut tragedi 11 September 2001 alias 9/11 sebagai faktor utama lahirnya penyadapan. Selama ini Washington menyatakan, spionase itu merupakan salah satu upaya untuk mencegah terulangnya serangan teror yang dilancarkan Al Qaeda tersebut. Apalagi, setelah 9/11, beberapa negara Eropa sempat menjadi sasaran teror serupa. Misalnya, bom London dan bom Madrid.
Departemen Luar Negeri Amerika hanya mengatakan kajian pengumpulan informasi inteljen akan selesai selambat-lambatnya pada akhir tahun ini. Tetapi pengungkapan tentang sejauh mana kegiatan-kegiatan Badan Keamanan Nasional Amerika NSA di luar negeri, telah menyorot keikutsertaan beberapa sekutu Amerika dalam tindakan spionase ini.
*Dikutip dari berbagai sumber
Print
PDF
About Me
Aku adalah apa yang ada pada diriku. Dan aku berkuasa atas diri ini
Follow: | Google+ | Facebook |